Posted: Kamis, 18 Maret 2010 by Khaidir Intro in
0


Makna Cinta Sejati

“Tiada hari tanpa ngobrolin cinta…”

Betul itu, tidak salah. Setiap hari dan setiap saat semua orang di dunia ini tak pernah berhenti-henti membicarakan masalah yang berkaitan dengan cinta.

Dalam kehidupan manusia, cinta sering menampakkan diri dalam berbagai bentuk. Kadang-kadang seseorang mencintai dirinya sendiri, kadang-kadang mencintai orang lain. Cinta pada diri sendiri membuat seseorang akan mampu menjaga dirinya. Bayangkan kalau seseorang tidak mencintai diri sendiri, pasti ia takkan peduli dengan kondisi dirinya. Kalau ia sudah mencintai diri sendiri, akan muncul dorongan sebaliknya, yaitu membenci segala sesuatu yang dapat memadorotkan dirinya. Namun yang patut diingat adalah cinta pada diri sendiri pun harus diimbangi dengan bentuk-bentuk cinta pada yang lain.

Lalu Cinta itu sendiri apa?

Menurut pandangan umum, Cinta adalah sebuah perasaan ingin membagi secara bersama-sama atau sebuah perasaan afeksi terhadap seseorang. Pendapat lainnya, cinta adalah sebuah aksi atau kegiatan aktif yang dilakukan manusia terhadap objek lain baik berupa pengorbanan diri, empati, perhatian, memberikan kasih sayang, membantu, menuruti perkataan, mengikuti, patuh, dan mau melakukan apa saja yang diinginkan objek tersebut.

Tapi menurut saya, Cinta itu pada dasarnya adalah untuk saling menyelamatkan, saling melindungi dan membahagiakan diri. Jika kita mencintai diri atau pun orang lain dengan sepenuh hati, itu artinya kita menggantungkan diri pada makhluk yang dengan berbagai kelemahannya belum tentu dapat memberikan semua kebahagiannnya. Oleh karena itu, cinta yang sepenuh hati hanya patut kita berikan pada Sang Khalik yang sudah pasti memberikan respon yang dapat menentramkan hati, karena Dia pasti akan memberikan balasan setimpal bahkan lebih daripada yang kita berikan kepada-Nya.

Firman-Nya ada dalam sebuah hadist qudsi, “Jika dia (hamba-Ku) mendekat kepadaku sejengkal, maka Aku akan mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendekat kepada-Ku sedepa, Aku akan mendekatinya sehasta, jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”

Mungkin kita beralasan bahwa respon dari sesama makhluk itu dapat terlihat, sedangkan respon dari-Nya tidak bisa terlihat. Misal, kalau kita tertawa kepada seseorang, kita bisa langsung melihat responnya, apakah ia membalas tertawa ataukah malah cemberut.

Well…

Respon dari Allah memang tak dapat terlihat secara kasat mata, namun dapat dirasakan. Nah, untuk dapat merasakannya tentunya seorang hamba mesti benar-benar tulus dalam mencintai-Nya. Sepanjang cinta kita pada-Nya masih terkalahkan oleh cinta kita pada hal-hal lain selain diri-Nya, tentu kita akan sangat sulit merasakan respon itu. Selain itu, kalau yang menjadi ukuran adalah hal-hal yang kasat mata saja, sangat mungkin apa-apa yang terlihat itu sangat bertolak belakang dengan apa yang ada di dalam hati atau pikiran. Contohnya saja saat kita tersenyum pada seseorang dan orang lain pun tersenyum, apa kita bisa memastikan bahwa senyumnya itu pun benar-benar tulus? Atau jangan-jangan di balik senyumnya itu dia sangat membenci kita, senyumnya hanya sekedar lips service semata. Sungguh, kita betul-betul tidak tahu apa yang sesungguhnya berada di balik respon yang ditampakkan seseorang. Seperti kata pepatah bilang, “Dalamnya lautan kan kuselami, hati orang siapa yang tahu”.

Sedangkan Allah, Ia Maha Tahu sejauh mana kadar cinta seorang manusia pada diri-Nya. Bahkan, Ia pun tahu sangkaan tiap-tiap hamba-Nya pada diri-Nya. Jadi, respon yang kasat mata tidaklah dapat dijadikan ukuran. Hakikat yang sebenarnya adalah di dalam hati, sesuatu yang amat halus dan lembut, abstrak, tidak berupa dan tidak dapat diraba. Segala tindakan yang dilakukan akan terasa lebih indah bila dilakukan dengan hati. Lain lagi ceritanya kalau hanya dilakukan karena dorongan fisiologis semata.

Misalnya saja dalam urusan seks. Kalaulah seseorang melakukan aktivitas seksual hanya sebatas pada kenikmatan, apa bedanya dengan hewan? Dalam kondisi atau dengan cara apapun, aktivitas seksual seperti itu dapat dilakukan dan pasti melahirkan kenikmatan. Namun, apakah kita, yang mengaku sebagai makhluk yang paling sempurna ternyata bisanya hanyalah mengejar kenikmatan belaka? Bukankah semestinya kita membuktikan bahwa diri kita benar-benar makhluk yang mulia, sehingga kita tidak memahami cinta hanya sebatas nafsu saja, namun lebih dari itu, yaitu menggapai cinta yang diridoi Allah, yaitu cinta yang lahir dari dalam nurani.

Sauh pun tertancap di dasar samudera, kokoh dan lepas dari keangkuhan. Seperti itulah hakikat cinta. Namun, kadang ia tergadai dalam sikap egois yang terpasung nafsu.

Saat aku melihat di jalanan ada dua bocah ABG yang sedang asyik-asyiknya bercanda dan tertawa dengan mesra dibawah remang-remang lampu taman yang berpendar, seolah-olah dunia milik mereka berdua. Mereka benar-benar mengingatkanku pada masa lalu. Jujur aku akui, dulu, walaupun saat ini aku terbilang masih muda tapi diri ini sudah cukup banyak mereguk berbagai pengalaman tentang asem-manis-pahitnya cinta. Mulai dari main mata, lirik sana lirik sini, kenalan, pacaran, seterusnya dan seterusnya. Maka aku dapat mengambil kesimpulan, kadang manusia itu seperti hewan, cinta hanya digunakan untuk menipu, hanya untuk sekadar memenuhi bisikan setan yang ngakak puas dengan akal bulusnya yang diikuti mereka. Setelah pengalaman yang aku alami selama ini, pantaslah hatiku mendesis pada mereka, “Kasihan, pastilah tak terpikir oleh mereka tentang getirnya sebuah pengkhianatan.” Dan pastilah mereka sudah beranggapan bahwa yang mereka rasakan sekarang adalah yang disebut dengan cinta.

Kita tentu tahu, cinta zaman sekarang sudah dibentuk oleh opini media massa, acara televisi contohnya, mulai model cintanya orang-orang Barat hingga roman picisan yang dikemas dalam bentuk sinetron, sineTV, FTV atau apa pun lah namanya. Ah, itu semua ternyata hanyalah kamuflase belaka. Disadari atau tidak, diakui atau tidak, berbagai acara itu telah mengajarkan kita tentang cinta yang semu. Dan anehnya, orang selalu mengikuti setiap pesan tanpa berpikir panjang apakah pesan itu positif atau negatif untuk dirinya. Atau mungkin kita terlalu dungu, tidak mengerti sebuah trik dari sekelompok orang dibalik layar yang membuat skenario semua ini. Ah, wajarlah kalau para remaja mudah sekali mereka jadikan sebagai objek. Dan memang luar biasa sekali pengaruh media massa, begitu mudah mengubah perilaku orang.

Begitulah realita cinta yang saya saksikan kini. Kalau selama ini kita selalu patuh terhadap pesan cinta yang ditampilkan oleh si om sutradara, kenapa kita tak mencoba patuh kepada pesan cinta dari Sang Maha Sutradara. Kalau kita mencintai seseorang, cintailah dia ala kadarnya. Karena bisa jadi ia membenci kita. Kalau kita membenci seseorang, bencilah dia ala kadarnya. Karena bisa jadi ia mencintai kita. Jadikanlah cinta untuk mendapatkan ridho-Nya, dan janganlah kita mencari cinta untuk mendapatkan kenikmatan sesaat yang menyesatkan.

Tak ada yang kebetulan di dunia ini. Semuanya berjalan atas rencana dan pengetahuan Allah. Bahkan tiada sehelai daun pun yang gugur, melainkan Dia mengetahuinya. Berbicara cinta, artinya berbicara keyakinan. Lantunan cinta, adalah tembang pengorbanan seorang hamba dalam lingkup Sang Khalik, yang menumbuhkan ketegaran dan daya juang yang tinggi. Hingga saat cinta terkhianati, tak berujung putus asa atau penyesalan. Dan bila cinta terjawab, Rindu Ilahi pun kan selalu menyertai.

Jadi, makna cinta sejati, sederhananya, menurut saya adalah cinta terhadap seseorang yang didasari atas kecintaan yang sama terhadap Allah SWT, bukan karena si dia cakep, cantik, tajir, pinter, dan semua objek fisiologis lainnya. Itu semua hanyalah opsional. Sebab, cinta yang berasal dari satu keyakinan akan timbul sebuah kepercayaan, dari sebuah kepercayaan lahirlah kesetiaan dan dari kesetiaan maka itulah yang disebut dengan cinta sejati.

Terkesan agamis? Tanyalah diri sendiri, kita manusia yang memiliki agama atau bukan?

Posted: by Khaidir Intro in
0

Misteri Batu Melayang

Batu Melayang
Batu Melayang

BATU MELAYANG

OLEH : ARMANSYAH

Sejumlah pemberitaan mengenai peristiwa Israk dan Mikraj Nabi Muhammad juga dibumbui oleh sebuah cerita tentang adanya batu melayang yang konon pernah memohon kepada Nabi untuk ikut dibawa serta naik kelangit. Berkaitan dengan hal ini, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, dalam buku beliau yang berjudul “Silsilah Hadits Dha’if dan Maudhu” mengatakan hadis tersebut adalah palsu. Al-Bani juga menyebutkan bahwa dia sendiri sudah melihat langsung batu tersebut dan faktanya bahwa batu itu tidak ada keutamaannya secara syar’i, kebalikan apa yang diyakini oleh kebanyakan orang.

Pada tahun 2005 yang lalu, dunia Islam di Internet sempat dihebohkan juga dengan beredarnya gambar batu terbang tersebut. Dengan sejumlah penelitian dari sisi grafika maka gambar itu akhirnya diketahui merupakan sebuah rekayasa dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Lihat gambar dibawah, betapa mudahnya melakukan rekayasa seperti itu. Sekarang batu itu sudah tidak melayang-layang lagi khan ….

Batunya dah nempel
Oh : Batunya dah nempel

Photo yang disebar dan dikirim keberbagai milis termasuk kebox mail saya mengatakan bahwa photo batu melayang itu berlatar belakang mobil dan ditempat terbuka. Sementara batu yang DIANGGAP dan disebut-sebut sebagai mukjizat Israk dan Mikraj ini sendiri memang bisa dijumpai dibawah Qubbah Sakhra di Masjid Umar atau Dome of Rock (bukan di Masjid Al-Aqsha seperti yang sering ditulis orang). Masjid Umar memang terletak tidak berjauhan dengan masjid Al-Aqsha. Adapun batu tersebut tidaklah juga melayang sebagaimana isu ini, batu itu seperti batu lain kebanyakan. Dia menyatu dengan tanah, untuk sampai kebatu itu disediakan tangga untuk naik keatas, posisinya bila dilihat dari bawah tangga kelihatan sekitar 2 meter dari atas tanah. Yah, Batunya tidak terbang, bukan seperti didalam photo yang terletak udara terbuka.

Dalam beberapa klaim dan photo juga memperlihatkan bahwa posisi batu itu masih melayang, sedangkan kenyataannya itu adalah kononnya saja, yang jelas fakta sekarang ini batu itu sudah menyatu dengan tanah.

Dengan demikian kata konon masih belum bisa dijadikan parameter untuk menentukan validitas terhadap sesuatu.

Klaim bahwa pernyataan pihak Yahudi menutup-nutupi keberadaan batu tersebut sama sekali tidak benar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan. Karena dari sisi ilmiah, belum ada laporan mengenai penyelidikan ilmiah terhadap batu tersebut, setidaknya jika ini memang benar tentunya akan mengundang banyak peneliti untuk mengadakan penyelidikan dan mengeluarkan bermacam teori seperti halnya Black Hole, Segitiga Bermuda, Segitiga Formosa dan seterusnya, paling tidak dari satu sisi menyangkut peninggalan Nabi Yehezkiel dengan cerita penerbangannya didalam alkitab sudah diselidiki oleh para ahli, kenapa kasus ini seolah tidak terperhatikan ?

Sebagai bahan bacaan penambah khasanah saja, berikut akan saya cuplikkan beritanya :

Diterangkan dalam kitab Injil bahwa nabi Yehezkiel dibawa oleh pesawat ruang angkasa kesuatu tempat, dengan keterangan: “Dalam tahun keduapuluh lima sesudah pembuangan kami, yaitu pada permulaan tahun, pada tanggal sepuluh bulan itu, dalam tahun keempat belas sesudah kota itu ditaklukkan, pada hari itu juga kekuasaan Tuhan meliputi aku (Yehezkiel) dan dibawaNya aku dalam penglihatan-penglihatan Illahi ke tanah Israel dan menempatkan aku di atas sebuah gunung yang tinggi sekali. Di atas itu dihadapanku ada yang menyerupai bentuk kota. Kesanalah aku dibawanya. Dan lihat, ada orang yang kelihatan seperti tembaga dan ditangannya ada tali lenan beserta tongkat pengukur; dan ia berdiri di pintu gerbang. Orang itu berbicara kepadaku:”Hai anak manusia, lihatlah dengan teliti dan dengarlah dengan sungguh-sungguh dan perhatikanlah baik-baik segala sesuatu yang akan kuperlihatkan kepadamu, karena untuk itulah kau dibawa kemari supaya aku memperlihatkan semua itu kepadamu..”(Yehezkiel 40:1-4)”

Dalam bukunya yang terkenal, yang dalam edisi bahasa Indonesianya berjudul: Asal Usul Kecerdasan Manusia, Erich von Däniken memberi komentar lebih lanjut:”Kemana Yehezkiel di bawa?” Blumrich juga telah bertanya:”Dimanakah Yehezkiel?”

Yehezkiel memberikan ukuran yang tepat tentang empat pintu gerbang utama pada sebuah gereja, memberikan arah kompas mengenai letak gerbang-gerbang itu dan akhirnya menyebuktan adanya sebuah sungai kecil yang ada di sisi gereja dan menjadi sungai besar di sebuah lembah luas. Juga ditekankan bahwa Yehezkiel dibawa ke sebuah gunung yang sangat tinggi.

Dengan bukti sedikit ini, Erich von Däniken berusaha keras menemukan dimana lokasi dan peninggalan gereja itu. Yang pasti Yehezkiel tidak mengetahui nama gunung itu. Tak mungkin ia dibawa ke Yerusalem atau Babilonia karena ia pernah tinggal lama di daerah-daerah itu.

Mungkinkah Yehezkiel dibawa ke kuil Inca di Amerika Selatan? Jawaban ini dibantah karena kuil Inca tidak mempunyai empat pintu utama, tiang-tiang maupun halaman depan. Ataukah ia dibawa ke piramid, ke sebuah kuil di Amerika Tengah? Namun di sana tidak terdapat gunung yang amat tinggi.

Akhirnya seorang pembaca dari buku-buku Erich von Däniken menulis surat kepadanya. Seorang pembaca Jerman yang bernama Marier itu memberitahu penulisan tentang kuil-kuil di Srinagar di Tanah Kashmir. Anehnya salah satu kuil iu dinamakan Kuil Yahudi dan kuil ini mempunyai empat pintu dan sebuah halaman depan dan segala sesuatu yang seharusnya dipunyai oleh Kuil Yahudi.

Pembaca yang baik hati itu juga menyelipkan denah kuil itu di dekat Martand, tiga puluh kilometer dari Srinagar. Suatu hal yang sangat cocok bahwa didekat kuil itu ada sebuah sungai kecil yang akhirnya menjadi aungai di tanah Kashmir. Pegunungan yang amat tinggi, yakni Himalaya menghiasi latar belakangnya.

Memang kuil Yahudi di Srinagar itu disebut juga “Kuil Matahari” (Sun temple) dan merupakan reruntuhan kuil paling besar di Kashmir. Ketika Erich von Däniken mengadakan suatu ekspedisi pada tahun 1976 kesana, mereka melihat halaman depan dengan pintu utama, tujuan tangga dan ruang suci di dalamnya. Dan memanglah terdapat sebuah sungai kecil di dekat reruntuhan yang memantulkan pegunungan Himalaya. Suatu perkiraan bahwa Yehezkiel pasti diangkut dengan pesawat ruang angkasa dan mendarat di halaman depan itu: “Lalu dibawanya aku ke pintu gerbang yang menghadap ke sebelah Timur. Aungguh, kemuliaan Allah Israel datang dari sebelah timur dan terdengarlah suara seperti air terjun yang menderu dan bumi bersinar karena kemuliaanNya. Yang kelihatan kepadaku itu adalah seperti yang kelihatan kepadaku ketika Ia datang untuk memusnahkan kota itu dan seperti yang kelihatan kepadaku di tepi sungai Kebar, maka aku sembah sujud. Sedang kemuliaan Tuhan masuk di dalam bait Suci melalui pintu gerbang yang menghadap kesebelah Timur.”(Yehezkiel 43:1-4).

Dalam teks di atas secara jelas telah disebutkan bahwa pesawat ruang angkasa itu memasuki kuil. Apakah mungkin ada jejak yang dapat dilacak di daerah itu? Selama dua hari penuh mereka berjalan mengelilingi daerah itu dengan alat pengukur radiasi (Geiger counter). Namun tak terjadi apa-apa, hingga pada sebuah jalur yang muncul pada pintu utama, jarum jarum bergetar dengan hebat disertai suara gemertak keras mengganggu telinga melalui earphone selama beberapa detik.

Jalur yang mengandung radiasi itu membuat medan radiasi radioaktif selebar 1,50 meter. Berapakah panjangnya? Perlahan lahan Erich berjalan dari ujung sebelah kanan menuju kekiri. Detakan di telinga terus terdengar tapi tidak merata. Mereka menggunakan monitor elektronik portable, type TMB2. 1, dibuat oleh perusahaan Munich Munchner Apparatebau. Alat ini biasa dipakai untuk mengukur serta mengontrol radiasi alpha, beta gamma dan neutron.

Pada tempat-tempat tertentu jarum menunjuk pada akhir skala, sehingga timbul pertanyaan: Apakah kita berjalan diatas sebuah jaringan uranium jauh dibawah tanah? ataukah ada tambang radioktif di dalam tanah?

Di tempat suci (Bait Suci) dari kuil yang telah runtuh itu terdapat batu persegi yang padat dan tampak seperti sebongkah beton buatan dengan sisi sepanjang 2.80 meter. Tinggi tak dapat diukur karena dasarnya tenggelam ke dalam tanah. Alat detektor mereka menunjukkan bahwa mungkin lempengan batu itu mempunyai inti bahan bahan metal.

Keesokan harinya teman teman dari Erich von Daniken yang merupakan ahli arkeologi bernama Profesor Hassnain dan Kohl membawa mereka ke reruntuhan Pashaspur, yang juga cukup dekat dengan Shrinagar. Mereka menunjukkan tiga kuil yang berbeda tetapi masing-masing memiliki batu batu persegi yang amat padat, seperti yang dijumpai sebelumnya. Sekali lagi teks dalam Yehezkiel membuat kita semua keheranan:

“Hai anak manusia, inilah tempat tahtaKu dan inilah tempat tapak kakiKu, di sinilah Aku akan diam di tengah-tengah orang Israel selama-lamanya.”(Yehezkiel 43:7).

Apakah Tuhan meninggalkan jejak di lantai Bait Suci yang memberi suatu tanda bahwa adanya sebuah deposit atau pesan yang amat penting sekali? Ataukah pengunjung dari luar bumi itu meninggalkan “sesuatu” yang diperuntukkan bagi kita dalam blok batu misterius itu yang masih menunjukkan kehadiran mereka walaupun telah berabad-abad lamanya.

“Saya ingin membujuk kaum ilmuwan India agar mau memecah batu itu untuk menyelidiki badian dalamnya, hingga tahu apa sebabnya terdapat radiasi” demikian kata Erich von Däniken mengakhiri analisanya terhadap kitab Yehezkiel yang berhasil dengan gemilang. Sedang apa yang terjadi sesungguhnya pada tahun 600 sebelum masehi itu kita hanya dapat mengira-ngira bahwa Tuhan telah menunjukkan istanaNya di bumi pada manusia yang bernama Yehezkiel. Benarkah “kuil Yahudi” atau “Kuil Matahari” itu istana Tuhan di Bumi?

Demikian sedikit yang bisa saya sharing mengenai hal ini, bahwa seperti yang pernah saya katakan sebelumnya, umat Nabi Musa pernah menyaksikan hal yang lebih fantastis dari sekedar batu melayang, mereka menyaksikan bagamana sebuah tongkat menjelma menjadi ular dan bagaimana laut bisa membelah sehingga kaum Israel bisa menyebrang dari Mesir … tetapi fakta ini sama sekali tidak memberikan efek berarti bagi kehidupan rohani mereka. Itulah kira-kira kenapa Nabi Muhammad diberikan sesuatu yang bisa melekat dan bisa dipelajari menemus batasan waktu dan jaman.